Membincang Adat bersama Idun, Penerus Tradisi Kawi dan Seni Ukiran Sasak
Mujahidunnafis atau lebih akrab di panggil idun adalah contoh generasi muda yang konsisten merawat adat istiadat masyarakat Sasak. Darah budayawan memang mengalir dalam diri pemuda kelahiran 27 Oktober 1980 silam ini. Idun Lahir dari pasangan budayawan Sasak Parnamustawa dengan seorang bangsawan Solo Roro Ajeng Sumartini.

Selain mengembangkan kemampuan menulis kawi sejak tahun 2004, Idun juga menguasai seni ukir warangka keris, klewang, pemaje, dll. Menurutnya motif ukiran pada gagang keris khas Sasak cukup sederhana atau lebih dikenal dengan motif pangkal “karang jae” dengan ujung berbentuk motif daun pakis. Senjata tradisional klewang di masyarakat Sasak memiliki kemiripan dengan yang digunakan oleh masyarakat Palembang, hanya berbeda di wilah/bilah, yaitu ujung wilah di Palembang lebih mirip ujung samurai, kalau di Sasak ujungnya melengkung dengan orong (garis tengah) pada wilah-nya.


Pembayun muda Sasak ini sering tampil pada kegiatan-kegiatan budaya, baik yang diprakarsai Pemerintah Kabupaten Lombok Tengah maupun Pemerintah Provinsi NTB. Pada tahun 2008, Ia sempat mengikuti perlombaaan pepaosan (seni membaca dan menginterpretasi lontar) yang digelar di Museum Daerah NTB. Ia juga pernah ikut sebagai peserta peresmian berdirinya Persatuan Pedalangan Indonesia (PEPADI) Provinsi NTB dan akhirnya tergabung dalam lembaga pewayangan tersebut.
Di antara hasi hasil karya tulisannya adalah penulisan ulang manuskrip lontar Sasak yakni takepan Rengganis, Puspekarma, Labangkara, Markum, dan Hikayat Nur. Hal tersebut dilakukannya sebagai upaya menjaga warisan literasi bangse Sasak. “Tidak ada yang lebih patut untuk menguasai ilmu ini kecuali generasi Sasak sendiri “, tegas pembayun muda yang berasal dari Desa Bangket Parak, Kecamatan Pujut itu. Ia menambahkan, budi dan daya manusia Sasak, terutama masyarakat Pujut tempat ia dibesarkan, masih sangat kental dengan kebudayaan warisan peninggalan para pendahulu. Hal ini bisa dilihat dari konsistensi melaksanakan tradisi adat. Bisa dikatakan, sekitar 90% warga Pujut masih melaksanakan upacara adat Sorong Serah Aji Krame sebagai salah satu hal yang wajib bagi orang Sasak yang menjunjung tinggi adat istiadatnya. Upacara adat ini memang kental dan sangat erat kaitannya dengan kepribadian masyarakat Sasak.


Tokoh muda ini juga mengungkapkan bagaimana upacara adat Sorong Serah Aji Krame juga mengajarkan kepada kita tentang adab bertamu, memegang sikap tindih dalam ucapan dan perbuatan serta bagaimana menyelesaikan sebuah masalah baik individu maupun dalam bermasyarakat. Aji Krame adalah simbol harga diri bagi individu-individu dan keluarga Sasak.
Namun demikian, Idun seringkali menjadi pembeda dalam pelaksanaan adat. Ia kerap tampil di luar kebiasaan para sesepuhnya. Menurutnya, adat perlu merespon perkembangan zaman tapi tidak sepenuhnya keluar dari pakem yang sudah ada.
Warisan peninggalan bangse ini terkandung banyak pesan pesan moral yang tinggi serta mempunyai kekuatan yang luar biasa. Ia menyatakan bagaiman warga Pujut akan sangat marah jika disebut “Kekedaq adatm!” (tidak punya adat). Pernyataan yang sangat sensitif bagi yang mendengarnya. “Ini membuktikan bahwa adat sangat erat hubungannya dengan diri manusia, ” terangnya.

Tak lepas dari pehatiannya ketika di masa sekarang ini banyak sekali perubahan pada komponen adat dan agama. Ia mencontohkan seperti yang saat ini tengah terjadi yakni bangsa Sasak belum menemukan perihal busana adat yang masih tumpang tindih dengan budaya suku lainnya. Meskipun sebenarnya menurut Kuntowijoyo, agama dan budaya adalah dua hal yang saling berinteraksi dan saling mempengaruhi, baik dalam mengambil bentuk, simbol, maupun isi/nilai. “Ini menjadi pekerjaan rumah paling segera bagi kita semua agar tatanan dalam hal pakaian adat mendapatkan perhatian serius”, imbuhnya.
Dari diskusi dengannya itu, muncul kesimpulan bahwa lebih mudah mengajarkan manusia Sasak melalui contoh-contoh kebudayaan atau berbudaya karena melalui hal ini lebih menyentuh meskipun hubungan harmonis antara agama dengan tradisi lokal sebenarnya bukan hal baru.
Teruwai, Jumat 02/04/21
Penulis: Amaq Deang; Editor: Edi Wiranata; Foto: penulis
Bagikan ke Media Sosial anda: